Kecerdasan emosi kini menjadi
perhatian dan prioritas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan
dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis. Selain itu, kecerdasan emosi juga sangat penting
dalam hubungan pola asuh anak dengan orang tua. Hasil studi Dr. Marvin
Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, yang diterbitkan dalam sebuah
sebuah buletin, Character Educator, oleh Character Education Partnership,
dijelaskan tentang keberhasilan kecerdasan emosi terhadap keberhasilan
akademik.
Dalam penelitian tersebut,
dijelaskan tentang peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi
akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas
yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan
penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat
keberhasilan akademik. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan
secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Anak-anak yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak
dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat
sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia
dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja
seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan
sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah
sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam
keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari
keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak
orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan
karakter. Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan
seseorang untuk mengendalikan emosinya.
EI dengan indikator rasa empati,
kemampuan mengekspresikan dan memahami diri, beradaptasi, bekerja dalam tim,
berbagi dan sebagainya, sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas perilaku
cerdas seseorang ditengah masyarakat, maupun dunia kerja. Penelitian
menunjukkan, kesuksesan diraih oleh mereka yang memiliki kecerdasan emosi baik
dibanding orang-orang yang hanya bermodalkan IQ tinggi. Namun di abad 21 ini,
kecerdasan emosi rata-rata manusia semakin turun.
Guru Besar Psikologi Universitas
Indonesia, Sarlito Sarwono dalam penjelasannya di acara Workshop Hidup Sehat,
menuturkan menurunnya kecerdasan emosi mayoritas penduduk dunia, disebabkan
karena perubahan nilai sosial dimasyarakat, berkurangnya waktu orang tua untuk
mengasuh anaknya, sistem pendidikan yang terlalu memperhatikan kecerdasan
intelektual, peningkatan angka perceraian, dan pengaruh media elektronik.
"Anak itu membutuhkan
pujian, sebagaimana ia juga ia membutuhkan hukuman. Pujian seperti apa yang
dibutuhkan mereka ? Pujian yang tulus. Hindari memberi kuliah, hindari marah,
hindari teriak, hindari pengulangan masalah atau mengungkit-ungkit
masalah", ujar Sarlito.
Sarlito menjelaskan orang tua
sangat berperan untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan cara menanamkan
nilai-nilai pentingnya berbagi, saling menyayangi, membangun disiplin,
berkomunikasi secara efektif, sehingga merangsang kemampuan anak untuk
mendengar, mengerti dan berpikir. Menemani anak menjelang tidur, saling
memaafkan dan mengembangkan minat membaca pada anak, juga dapat meningkatkan
kecerdasan emosi anak.(Idh/Bahan Fokus dan Pustaka Cerdas)
No comments:
Post a Comment